Dalam sejarahnya, pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Namun Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Berbagai produk ditawarkan pedagang-pedagang ini baik berbentuk barang maupun jasa dengan bermodalkan keuletan dan harga yang sangat terjangkau bagi masyarakat kebanyakan di kota ini. Oleh karena itu, pada kenyataannya PKL sangatlah diperlukan oleh masyarakat khususnya masyarakat yang mempunyai tingkatan ekonomi menengah ke bawah.
Namun seiring perkembangan waktu, seringkali kita jumpai permasalahan terkait PKL yaitu ketika mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Ini menjadi masalah dilematis ketika, dimana di satu sisi kita sebagai masyarakat terbantu atau membutuhkan keberadaan mereka tetapi di satu sisi kita terganggu akan keberadaan mereka yang memakan jalan trotoar sebagai sarana bagi pejalan kaki dan menimbulkan kemacetan karena pembukaan lapak atau dagangan yang sembarangan dan merusak keindahan kota. Adanya pedagang kaki lima juga menyebabkan adanya kemacetan yang luar biasa yang hampir setiap waktu terjadi sehingga aktivitas lalu lintas juga menjadi terganggu.
Masalah yang sering timbul adalah keinginan untuk mengindahkan kota dengan mengatur tata letak para Pedagang Kaki Lima (PKL) tetapi kurangnya tempat atau ruang untuk melakukan penataan para Pedagang Kaki Lima. Dengan adanya hal ini, solusi terbaik adalah melakukan penataan PKL dan bukan penggusuran dengan solusi yang tidak jelas.
Inkonsistensi Pemkot Bandung bahwa bangunan yang dihuni PKL dianggap liar sementara pajak retribusi tetap dipungut oleh aparat Pemkot. Sebaiknya, Walikota tidak dapat berargumen lagi bahwa bangunan liar yang dihuni PKL adalah liar namun di sisi lain aparatnya tetap memungut pajak retribusi dan seakan Satpol PP dan Pemerintah Kota Bandung, bersikap pura-pura tidak tahu keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL), padahal biaya untuk menertibkan PKL di Kota Bandung, sudah menghabiskan dana Rp 4 Miliar.
Melindungi fungsi ruang publik adalah salahsatu kewajiban pemerintah. Di sisi lain pemerintah juga harus melindungi keberlangsungan hidup warganya. Atas dua kewajiban yang bagaikan dua sisi koin inilah pemerintah perlu hati-hati dalam merumuskan solusi. Proses perumusan solusi haruslah partisipatif, dan diupayakan seoptimal mungkin melahirkan solusi in-situ program ketimbang program relokasi yang seringkali tidak berhasil.
Alternatif yang harus dilakukan :
- Mengadakan pendekatan preventif dan persuasif kepada para PKL sehingga pemerintah tahu apa keinginan dari para PKL tersebut
- Merelokasi tempat bagi para PKL sehingga tidak menggangu dan memperburuk keindahan kota
- Bisa dijadikan salah satu ciri khas juga buat kota kita nantinya dan bisa menambah pendapatan daerah
- Dari sisi lain para PKL juga harus menyadari arti keindahan dan kebersihan kota, maka harus sedini mungkin ditata supaya keadaan tidak menjadi ruwet
- Revitalisasi PKL di koridor - koridor tertentu melalui penataan,penyeragaman dan pembatasan jumlah PKL
- Memberlakukan pembatasan waktu bagi PKL, penyediaan, dan pengaturan tempat secara tertib
- Alternatif lain untuk mengajak masyarakat menata kota tidak selamanya dalam bentuk uang, tetapi dengan cara lain yang lebih menyentuh, yaitu seperti program dengan menanam tanaman hias dan bunga di jalan protokol dan ruang publik sehingga warga memiliki rasa tanggung jawab untuk menjadi kota yang indah, segar, hijau, dan nyaman.